(BERITA ISLAMI TERKINI) - Pembaca yang budiman tentu masih penasaran dengan sosok
Santoso yang menurut berbagai pihak disinyalir sebagai pimpinan teroris yang
paling berbahaya sehingga pihak aparat indonesia sangat gencar melakukan
operasi penangkapannya. Bahkan amerika pun menempatkan posisi Santoso sebagai
teroris kelas wahid.
Meskipun demikian Santoso sendiri masih masif di youtube
walaupun masih banyak kontroversinya. Tetapi setidaknya masyarakat indonesia
tahu sosok Santoso ini seperti apa. Yang menjadi menarik adalah pengakuan sosok
santoso ini yang sungguh memcengangkan.
Daripada penasaran silahkan simak wawancara dengan Santoso
seperti yang lansir oleh kiblat.net dibawah inj. Semoga kita bisa bersikap
objektif dan proporsional.
Tidak seperti tahun 2011 lalu, saat ini kondisi Santoso
nampak lebih kurus dengan rambut panjang sedikit awut-awutan alias gondrong
‘macerapa’ (bahasa kaili: amburadul).
Sekalipun demikian nada suaranya masih tegas dan garang.
Saat menjawab salam dari penulis, Santoso mengiringinya dengan tawa khas sama
seperti pertama kali berjumpa pada waktu menjenguknya di sebuah sel pengap
medio 2003 lalu.
Kala itu, Santoso adalah salah satu tersangka kasus
penembakan (dikenal dengan kasus penembakan Mobil Box di Sausu bersama M, F, G,
dan U). Kini M telah menjadi kontraktor bonafid di Poso yang dikenal sebagai
“anak emas” penguasa Poso periode lalu. Sementara F, G dan U masih setia
mengurus beberapa pohon cokelat di Poso Pesisir. Sebaliknya, Santoso menjadi
orang yang termasyhur di seluruh dunia, karena paling dicari otoritas keamanan
negeri ini bahkan pemerintah Amerika Serikat pun memposisikan Santoso sebagai
teroris yang berbahaya dan dijanjikan hadiah bagi siapapun yang dapat
menangkapnya hidup-hidup.
Obrolan penulis dengan Santoso selanjutnya, menggunakan
istilah “ente” atau “ana” (bahasa “Arab Gaul” sebagai terjemahan anda atau
saya); bincang-bincang yang bukan tanpa resiko ini diawali dengan pertanyaan
singkat: “Apa gerangan yang membuat ente menjadi berang dan melakukan tindakan
yang oleh regulator di negara ini menyambutnya sebagai tindak pidana
terorisme?”
Santoso: Ana melakukan itu karena beberapa hal, dan pada
kesempatan ini perlu ana kemukakan agar rakyat Indonesia tahu dan tidak lupa!
Pertama adalah soal keadilan; sebagai korban konflik horizontal Poso pada
Mei-Juni 2000 lampau, bertahun-tahun ana menunggu datangnya keadilan namun
sayang keadilan itu tak pernah terwujud.
Pelaku pembunuhan terhadap belasan anggota keluarga ana di
Sintuwu Lemba (dikenal di Desa Kilo Sembilan) seolah tak dapat dijangkau oleh
hukum hingga hari ini. Demikian pula pembantaian di Buyung Katedo (2 Juli 2001)
dan beberapa tempat lain di Poso, hingga kini tetap berlenggang kangkung karena
bisa mengangkangi hukum!
Deklarasi Malino juga ditafsirkan keliru oleh berbagai pihak
sehingga dijadikan sebagai sarana impunitas bagi pelaku kejahatan, padahal
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Kekecewaan
demi kekecewaan itu bertumpuk menjadi kesumat dan pada akhirnya ana memilih
“jalan lain” untuk mewujudkan keadilan itu.
Penulis: “Tetapi kenapa sasaran kemarahan ente ditujukan
kepada polisi?”
Santoso: Ini karena beberapa sebab, coba perhatikan hal
berikut :
1) Tanggal 17 April 2000 M.Husni alias Sunil ditembak mati
oleh oknum polisi, TKP pas itu terminal Kasintuwu kota Poso,
2) Ahmad Sutomo (saat itu usia 17 tahun) tewas ditembak
oknum polisi pada tanggal 21 Oktober 2001, TKP Mapane Poso Pesisir,
3) Safruddin Buhaeli (saat itu berusia 16 tahun), meregang
nyawa ditembak polisi pada tanggal 3 Desember 2001, TKP Bonesompe Poso Kota,
4) Amisudin wafat ditembak oknum polisi pada tanggal 15
November 2003, TKP : Tabalu Poso Pesisir.
Dalam peristiwa-peristiwa tersebut ada 12 (duabelas) korban
luka tembak, yakni: Rahman, Irwan, Budi, Asri, Oman, Ali, Rizal,
Abdullah,Hajir, Ali, Pr.Ratna, Pr.Salma, serta puluhan orang luka berat akibat
dianiaya dan disiksa (diinjak-injak, dipukul, diikat) dan ditelanjangi
(kemaluannya diinjak), seperti antara lain: Andang, Ato, Ayub, M.Saher,
M.Guntur, M.Fadli, M.Rusli, M.Irsan, Rustam S.K, Salbingu, Amran Ambo Enre,
Sondong, Bobby Dunggio, Kiki Andri Wijaya, Anjas Gani, Abdullah, Halid, Rendy,
Sutami M.I, Wahyudin, dan lain-lain (dikenal sebagai Tragedi Mapane Berdarah).
Sekedar informasi, mereka semua bukan pelaku kriminal, bukan
teroris, bukan pula kelompok orang yang tergolong DPO! Pada tahun 2003 lalu ana
juga mengalami penyiksaan hebat oleh oknum-oknum polisi saat ditahan di
beberapa Polsek yang ada di kota Palu.
Bayangkan, ana disangka melakukan tindak pidana di wilayah
hukum Parimo (Parigi Moutong) tapi ana dibawa ke Palu lalu ditahan di
Polsek-Polsek yang ada dan dipindah seenak mereka sendiri, dari satu sel
tahanan Polsek lainnya. Ana dipukul, diinjak-injak seperti hewan dan perlakuan
mereka itu tidak pernah ana lupakan seumur hidup.
Belum lagi pada peristiwa tanggal 11 dan 22 Januari 2007,
ada belasan nyawa pemuda-pemuda Muslim Poso (Tato, Idris, Maulana, juga om Gam
dan lain-lain) ditembak dan dibiarkan meregang nyawa tanpa ada upaya memberi
pertolongan.
Pada peristiwa tanggal 11 Januari 2007 itu, Dedi Parsan
tewas ditembak tapi beberapa bagian tubuhnya robek karena sangkur. Pada 22
Januari 2007 tersebut, Udin (kala itu 16 tahun/adik kandung Basri, salah
seorang DPO) juga tewas saat dalam penanganan oleh serombongan oknum polisi,
padahal saat ditangkap, Udin dalam keadaan sehat wal afiat dan selang sehari
kemudian dipulangkan dalam bentuk jenazah yang lehernya patah dan wajah lebam!
Pada Desember 2012, seorang pemuda Muslim Poso yang bernama
Andi, ditembak di Bima NTB lalu jenazahnya dibawa ke Jakarta dan 1 bulan
kemudian baru dipulangkan dan dikuburkan di Poso, sungguh tragis!
Demikian halnya Ahmad (kakak kandung Andi) juga Halid,
keduanya tutup usia secara dramatis tanpa terlebih dulu dibawa ke pengadilan
untuk membuktikan kesalahannya, padahal peraturan perundang-undangan di
republik ini tegas menyebut asas Praduga Tidak Bersalah! Mereka tidak membawa
senjata api atau bom yang membahayakan, tapi kenapa harus ditembak mati!
Belum lagi puluhan kaum Muslimin yang ditangkap dari segala
penjuru Poso kemudian dibawa dan ditahan di Mako Brimob Depok atau Polda Metro
Jaya lalu diadili di PN Jakarta Utara atau PN Jakarta Selatan atau PN Jakarta
Pusat, selanjutnya menjalani pidana pada lembaga-lembaga permasyarakatan yang
ada di pulau Jawa sampai sekarang.
Semua mereka sengaja dipisahkan dari sanak keluarga dan
dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya, perlakuan yang hampir mirip dengan apa
yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan terhadap
pahlawan-pahlawan bangsa seperti Tuanku Imam Bonjol atau Pangeran Diponegoro,
yang ditangkap dan dibuang hingga meninggal dunia di tempat nan jauh dari tanah
kelahirannya.
Tapi sampai hari ini, tidak satupun oknum polisi yang melakukan
kekerasan dan atau kejahatan terhadap kaum Muslimin tersebut diseret ke
pengadilan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seolah-olah apa yang mereka
lakukan bukan merupakan kejahatan dan oknum-oknum tersebut adalah warga negara
kelas satu yang kebal hukum.
Mengapa tidak satupun pembela hak asasi manusia
mempersoalkan cara penghukuman model pemerintah kolonial Belanda tersebut? Hal
lain yang perlu ana sampaikan kepada khalayak ramai adalah semua tersangka
teroris khususnya dari Poso juga dari seluruh pelosok Indonesia “wajib
hukumnya” didampingi (sebagai Kuasa Hukum) oleh Advokat/Pengacara yang ditunjuk
dan dibayar oleh Densus 88.
Ini merupakan keanehan dan keprihatinan yang perlu mendapat
perhatian, karena kuasa hukum tersebut “digaji” oleh Densus 88, maka
pelanggaran dan pelecehan hukum yang terjadi hanya didiamkan dan dianggap angin
lalu oleh Advokat/Pengacara tersebut. Mereka hanya diam dan tidak pernah
keberatan ataupun memprotes tentang pemindahan tempat sidang yang nyata-nyata
melanggar Pasal 84 ayat (1) KUHAP tersebut.
Apa yang melatari sehingga Densus 88 menunjuk dan membayar
honor Pengacara bahkan hampir semua kebutuhan (mulai dari tiket pesawat
Palu-Jakarta-Palu, tempat tinggal di Jakarta hingga kendaraan) semuanya
ditanggung oleh Densus 88.
Padahal kelaziman ketentuan dalam KUHAP, seorang tersangka
atau terdakwa berhak memilih sendiri Penasehat Hukum untuk mendampinginya.
Masih banyak deretan kejahatan dan pelanggaran terhadap kaum Muslim yang
dilakukan oleh oknum-oknum kepolisian khususnya Densus 88 yang telah menyakiti
ana sebagai bagian dari kaum Muslim.
Pengakuan Santoso
sungguh menampar pihak aparat.
Karena ayam sudah berkokok menjelang subuh, penulis pun
mengakhiri obrolan imajiner ini dengan memberi nasehat: “Agar tidak ada lagi
korban yang tewas, bagaimana kalau ente hadapi saja proses hukum yang nantinya
dituduhkan, dan disampaikan segala yang menjadi ‘tuntutan’ soal ketidakadilan
tersebut nanti di pengadilan?”
Dengan kening yang berkerut, akhirnya Santoso memberi
jawaban : “InsyaAllah akan ana pertimbangkan…!
Ditulis oleh: Harun Nyak Itam Abu, Pendiri TPM Poso
sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
Tulisan asli berjudul: “Ngobrol Imajiner dengan Santoso”,
dimuat di Radar Sulteng pada Kamis, (21 April 2016). [Faktamedia]
(BERITA ISLAMI TERKINI)
No comments:
Post a Comment